JINGGA #3


#3

“coba yang pink salem,”

Dia sedang menimbang-nimbang kemeja berwarna biru langit atau navy ketika tatapannya tidak sengaja tertumbuk pada kemeja berwarna salem.

Suara itu terdengar lagi.

Masih terekam jelas dalam benaknya, satu hari di masa lalu. Via video call, dia bertanya kepada sosok di seberang mengenai kemeja mana yang harus ia beli. Saat itu ia sedang keluar kota karena urusan pekerjaan, dan mendadak harus menginap karena urusannya ternyata masih belum selesai. Sayangnya, dia sama sekali tidak membawa pakaian cadangan karena berpikir ini adalah perjalanan pulang pergi satu hari.

Malam itu dia menyempatkan diri untuk membeli kemeja tanpa lupa meminta saran dari fashion stylist nya.

Ah, mungkin lebih tepat jika disebut life counselor. Pada seseorang itu, dia tidak hanya bertanya perihal penampilan, tetapi juga berbagai hal yang dia alami, dari hal-hal receh hingga segalanya yang membuatnya memutar otak. Kadang kala, di tengah obrolan mereka Jingga tertawa. Telunjuk menekan dahi lelaki itu yang tanpa sadar selalu berkerut-kerut setiap kali berpikir terlalu keras.

Dia tersenyum. Teringat tidak akan memutuskan sebelum memastikan pendapat gadis itu tentang sesuatu. Dulu.

Tanpa sadar dia meletakkan dua kemeja sebelumnya dan beralih kepada kemeja panjang berwarna salem tadi. Rasa-rasanya dia tidak memikirkan apapun ketika kemudian masuk ke dalam salah satu bilik fitting room, membawa serta dua potong celana berwarna abu-abu dan khaki yang telah ia pilih sebelumnya.

Lamat-lamat ia menatap pantulan dirinya di cermin. Tampilannya dengan kemeja salem dan celana khakinya tampak kurang rapi.

Ia kemudian memasukkan ujung-ujung kemejanya dan bercermin sekali lagi.

“kurang gemuk. Sedikit,”

Dulu, kata-kata itu yang terucap dari gadis itu ketika melihatnya dengan setelan kemeja rapi. Ia ingat betul bagaimana sosok itu tertawa meledek saat dia membuka pintu fitting room, tapi kemudian tetap membantunya merapikan pakaian itu.

“sekarang aku sudah lebih berisi,” dia menggumam, seperti seolah menegaskan bahwa penampilannya saat ini tidak sepayah dulu. Sambil merapikan pakaiannya, dia tersenyum, membayangkan bagaimana seandainya sosok itu melihat dirinya sekarang.

Dirinya yang bukan lagi pemuda kurus dan berjerawat. Dirinya yang sudah lebih dewasa dan terawat rapi. Dirinya yang sudah bisa menahan diri untuk tidak jatuh berlarut-larut ketika sedih dan terluka. Dirinya yang.. sudah berani tegas memutuskan.

Tetapi apakah keputusannya benar?

Tidak ada jawaban.

Berusaha menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang muncul di kepalanya, dia berkonsentrasi memastikan penampilannya di cermin. Dia baru berniat menggulung lengan kemejanya ketika sebuah suara terngiang lagi.

“sini biar kugulung,”

Dia tahu persis sosok itu tidak ada. Tapi merasakan bagaimana suara-suara itu terngiang dengan jelas tiap kali, entah halusinasi macam apa yang bisa menganggunya dalam keadaan sepenuhnya sadar seperti ini.

“Mas,”

Hampir dua menit dia tertegun. Gerakannya terhenti dan hanya menyisakan reka ulang memori ketika dia mengulurkan dua tangannya bergantian, membiarkan sosok di depannya menggulung rapi lengan kemejanya sebelum tersenyum puas melihat hasil kerjanya.

Dua menit yang terasa seperti selamanya.

Dia mendadak tersenyum kecut, lekas melepas kembali kemeja itu dan segera beranjak membayarnya. Dalam hati yang ditahannya kuat-kuat untuk tidak memikirkan semua kenangannya lebih jauh, diam-diam dia berharap tidak akan menyesali keputusannya dulu.

Keputusan untuk melanjutkan kembali mimpi-mimpinya.

Tanpa Jingga.

Tinggalkan komentar