aku ini balon


Bagaimana rasanya hampa?

Seperti balon.

Iya, balon. Balon yang berisi, terlihat kuat dan menyenangkan.

Lihat saja senyumnya yang lebar, dan kedua matanya yang besar- besar.

Sayang, isinya hanya udara. Udara hampa yang tidak berasa. Tidak berwarna. Tidak terlihat. Dan tidak berarti kan, untukmu?

Pukullah dia.

Pasti kamu tahu ia akan membal. Penyok sesaat, lalu kembali seperti semula. Dengan senyumnya yang masih meemantul- mantul gembira.

Lalu, coba perkenalkan dia dengan si mungil bernama jarum.

Dekatkan, biarkan mereka bermain bersama.

Kamu akan melihatnya pecah karena si jarum. Pecah, lalu menghilang, tapi toh, kamu tidak pernah akan ingat lagi, bagaimana balon itu pernah ada,

Tentu saja. Karena dia, hanya sebuah hampa untukmu.

Iya, kan?

Entah kenapa, pikiran- pikiran seperti itu selalu muncul. Apalagi, kalau lagi hujan.

Bohong kalau dibilang pikiran itu nggak bisa terdefinisi.

Aku bisa mendefinisikannya. Mendeskripsikan perasaan itu –sesuai dengan pemikiranku sendiri—.

Perasaan nggak memiliki siapapun kecuali Allah.

Hampa. Bahwa saat- saat sendu dan jenuh, memang nggak ada yang ‘stay’ di sisi. Untuk apapun. Bahkan, untuk sekedar ‘menyampah’ dengan ‘bahasa isyarat’.

Ini bukan tuntutan. Karena aku nggak akan bilang, bahwa saat sesuatu yang menyenangkan terjadi, ‘mereka’ selalu ada. Nggak selalu.

Hanya sebuah pemikiran –dan aku selalu bingung harus membuangnya dimana—. Jadi biar saja ‘sampah’ ini terbuang disini. ‘tempat sampah’ yang aku miliki sendiri.

Ini bukan pertama kalinya perasaan atau pemikiran seperti ini muncul. Sering, tapi sedikit- sedikit. Rutenya: muncul- lupa- muncul- hilang- muncul- bertahan.

Kadang- kadang sering terpikir, “ke mana nih, mereka?”

Terus dalam hati ada yang jawab, “oh, lagi pada sibuk.. pasti lagi pada sibuk,”

Yang sekali dimaklumkan. Kedua- ketiga juga masih dimaklumkan. Begitu sampai hitungan kelima- keenam- ketujuh- dan kawan-kawannya..

Perasaan itu muncul, tapi berubah dalam porsi yang lebih besar. Di waktu selanjutnya, perasaan itu bahkan membawa “sahabatnya” yang bernama ‘keraguan’, ‘kecurigaan’, ‘kekesalan’, dan big bossnya yang punya nama besar ‘kekecewaan’.

Kekecewaan karena berkhayal tentang pertemanan yang benar- benar tulus.

Kadang aku pikir, mungkin ini semua terjadi karena aku melankolis. Terlalu perasa.

Mungkin sih.. tapi aku rasa nggak sepenuhnya. Buktinya, banyak orang- orang melankolis yang memiliki live-happily-life- nya masing- masing. Dan banyak juga, orang non- melankolis yang lebih peka sama hal- hal sentimentil sekecil ini.

Kadang mau mengeluh. Ingin melantangkan kemarahan. Pengen maki- maki, meskipun bingung harus memaki siapa, dan mencaci apa.

Kadang juga bingung. Apa yang menahan ‘isi kepalaku’ untuk mendekam seperti biasa? Bagaimana bisa semuanya tenang ketika sesuatu diam- diam menyumbat bronkus memutuskan saraf, dan itu membuatku insomnia hampir sepanjang malam.

Ini bukan tuntutan. Karena aku, nggak akan menuntut siapapun untuk menjadi seperti yang aku pikirkan, Seperti yang aku inginkan.

Ini Cuma pemikiran yang timbul tenggelam dalam laut hati yang keruh dan berkarat tepinya.

Jadi biarkan.

Mungkin suatu saat akan tenggelam dengan sendirinya.

Kataku, aku ini balon.

Kubentangkan senyumku sepanjang pipi untuk menyenangkanmu,

tapi kubilang aku ini balon.

Karena aku hampa, dan tidak tahu alasan mengapa masih bisa tersenyum padamu.

Tinggalkan komentar